Harga BBM yang sudah turun sebanyak dua kali membawa angin segar yang menyesakkan di tengah gersangnya kondisi perekonomian tanah air. Angin segar dalam artian,inilah periode pertama penurunan harga bahan bakar dalam sejarah berdirinya negeri ini. Selama 63 tahun republik ini berdiri telah terjadi kenaikan harga 37 kali. Zaman Bung Karno jadi presiden, harga BBM naik 12 kali. Zaman Soeharto, BBM naik 18 kali. Zaman Habibie dan Gus Dur, BBM naik masing-masing satu kali, karena memang masa jabatan mereka tidak sampai dua tahun. Ketika tiga setengah tahun Presiden Megawati berkuasa, BBM naik dua kali ditambah sejumlah kenaikan otomatis. Yang terakhir, selama empat tahun lebih pemerintahan Presiden SBY, terjadi tiga kali kenaikan harga BBM dan satu kali penurunan harga BBM.Namun,yang menyesakkan justru selisih harga yang turun tidak sebanding dengan dinamika harga minyak dunia. Hal ini kemudian diperparah dengan masih engganya kalangan industri dan transportasi untuk mengikuti irama penurunan harga bahan bakar ini.
Persoalan pertama menyangkut tentang penurunan harga yang dilakukan secara bertahap. Pertimbangan pemerintah untuk berjaga-jaga jika harga minyak naik lagi mungkin bisa kita maklumi. Pemerintahan SBY-JK tercacat telah menurunkan harga BBM sebanyak dua kali yakni pada awal Desember dan sekarang pertengahan Januari sebanyak Rp.500 per tahapan. Namun,yang menjadi persoalan berikutnya, nominal harga penurunan tersebut dinilai terlalu kecil jika kita menyesuaikan dengan harga minyak internasional yang sekarang merosot pada kisaran 60-70 US$ per barelnya. Dengan asumsi yang ditetapkan dalam APBN sebesar US$ 95 per barel. Pertanyaan sederhananya adalah jika memang bisa dilakukan sekaligus,kenapa harus dicicil ?
Soal berikutnya adalah irama penurunan harga BBM ternyata tidak serta merta ikut menurunkan biaya-biaya lain seperti transportasi dan harga-harga barang kebutuhan lainnya secara massif. Sektor transportasi sebagai denyut nadi distribusi manusia berpandangan bahwa biaya bahan bakar hanya sebagian kecil dari seluruh biaya yang harus ditanggung seperti pembelian suku cadang,biaya perawatan dan perbaikan ,pajak dan retribusi. Padahal pada saat BBM naik, kalangan transportasi aktif menyuarakan kenaikan ongkos transportasi yang manusiawi. Hal inilah yang membuat banyak pihak beranggapan, penurunan ini setengah hati dan sebenarnya bukan kado awal tahun buat rakyat karena tidak menyentuh sama sekali kebutuhan rakyat.
Dilihat dari kacamata politik, kebijakan penurunan harga BBM ini memang tidak bisa dilepaskan dalam konteks politik pula. Sinyal yang paling kuat yang melandasinya adalah adanya momentum pemilu 2009,dimana SBY sudah membulatkan tekad untuk maju lagi sebagai presiden. Sebagai calon incumbent, SBY harus pintar dalam memainkan ritme untuk menjaga popularitasnya tetap stabil atau bahkan meningkat. Dalam berbagai survei yang dilakukan beberapa waktu kebelakang menunjukkan tren positif buat incumbent dimana mayoritas lembaga survei mengumumkan bahwa SBY masih menjadi pilihan masyarakat. Popularitas SBY sempat mengalami degradasi akibat kenaikan harga BBM yang membuatnya harus memikat hati rakyat jika ingin menang.
Secara psikologi politik,kesan yang ditanamkan dalam benak masyarakat secara berulang-ulang akan memunculkan memori kolektif. Dalam ilmu psikologi dikenal short term memory dan long time memory. Ingatan manusia memiliki keterbatasan dan untuk membuat ingatan kita bertahan lama harus dilakukan dengan metode repetisi atau pengulangan. SBY dan tim politiknya sangat jeli dalam melihat hal ini. Setidaknya ini tercermin dari proses penyebaran isu dengan menggunakan waktu. Pada saat kenaikan BBM beberapa bulan yang lalu,pemerintah mengumumkan dari jauh-jauh hari perihal rencana kenaikan. Tujuannya adalah untuk melihat sejauh mana reaksi publik dan di sela-sela waktu menjelang tanggal kenaikan, publik disodorkan oleh penciptaan musuh yaitu pasar internasional. Dengan demikian menjelang tanggal kenaikan publik justru mahfum bahwa kenaikan ini bukan niat pemerintah melainkan karena efek pasar.
Sekarang hal ini juga dilakukan dengan pemberian informasi tentang rencana kenaikan yang mengambil jangka waktu cukup lama. Isu penurunan dibiarkan berkembang di masyarakat bagai efek bola salju. Setelah seluruh elemen masyarakat menerima informasi ini dan kemudian menyerapnya. SBY kemudian muncul dengan iklan,pidato dan pemberitahuan ke publik bahwa pemerintah telah berhasil dan mementingkan kepentingan rakyat. Padahal pada saat kenaikan harga BBM, pasar internasional yang dijadikan kambig hitam. Sedangkan pada saat harga internasional turun, pemerintah mengklaim bahwa ini adalah sebuah prestasi besar kabinet. Pemilu kali ini bagi SBY adalah persoalan siapa yang paling populer di mata rakyat. AC Nielsen mencatat biaya iklan SBY bersama Partai Demokrat pada tahun 2008 berkisar Rp. 8,29 – Rp. 15,5 milliar. Dengan dana sebesar itu, jelas bahwa SBY akan berjuang habis-habisan untuk mendongkrak citra.
Sebagai sebuah strategi politik hal tersebut sah-sah saja. Namun, ketika strategi tersebut berdampak pada masyarakat luas, maka kita harus mengkajinya dengan seksama. Dalam demokrasi langsung,dimana rakyat langsung turun tangan menjatuhkan pilihan, popularitas memang menjadi barang yang sangat mahal harganya.Namun politik citra sebaiknya diikuti dengan substansi yang dirasakan publik. Kita tentunya tidak mau punya pemimpin kelas salon yang kerjanya hanya bersolek dan sibuk memoles penampilannya. Indonesia butuh pemimpin yang membangun citra dengan berbuat kepada kepentingan rakyat. Bukannya membangun citra dengan memanfaatkan rakyat.
Namun, dibalik asumsi-asumsi yang berkembang tentang makna politis penurunan harga BBM. Setiap penurunan merupakan sebuah oase di padang tandus yang harus selalu kita syukuri. Bagaimanapun kerja pemerintah tetap memiliki peran dalam upaya menurunkan harga BBM. Sekarang tinggal kita sebagai rakyat yang sebaiknya menganggap pemerintah sebagai patner yang selalu butuh saran dan kritik konstruktif. Perubahan di negeri ini tidak hanya lahir dari tangan yang berkuasa, tetapi didorong dan dikawal oleh bangunan ide-ide melalui partisipasi rakyat yang harus semakin aktif dalam menyerukan suaranya.
Persoalan pertama menyangkut tentang penurunan harga yang dilakukan secara bertahap. Pertimbangan pemerintah untuk berjaga-jaga jika harga minyak naik lagi mungkin bisa kita maklumi. Pemerintahan SBY-JK tercacat telah menurunkan harga BBM sebanyak dua kali yakni pada awal Desember dan sekarang pertengahan Januari sebanyak Rp.500 per tahapan. Namun,yang menjadi persoalan berikutnya, nominal harga penurunan tersebut dinilai terlalu kecil jika kita menyesuaikan dengan harga minyak internasional yang sekarang merosot pada kisaran 60-70 US$ per barelnya. Dengan asumsi yang ditetapkan dalam APBN sebesar US$ 95 per barel. Pertanyaan sederhananya adalah jika memang bisa dilakukan sekaligus,kenapa harus dicicil ?
Soal berikutnya adalah irama penurunan harga BBM ternyata tidak serta merta ikut menurunkan biaya-biaya lain seperti transportasi dan harga-harga barang kebutuhan lainnya secara massif. Sektor transportasi sebagai denyut nadi distribusi manusia berpandangan bahwa biaya bahan bakar hanya sebagian kecil dari seluruh biaya yang harus ditanggung seperti pembelian suku cadang,biaya perawatan dan perbaikan ,pajak dan retribusi. Padahal pada saat BBM naik, kalangan transportasi aktif menyuarakan kenaikan ongkos transportasi yang manusiawi. Hal inilah yang membuat banyak pihak beranggapan, penurunan ini setengah hati dan sebenarnya bukan kado awal tahun buat rakyat karena tidak menyentuh sama sekali kebutuhan rakyat.
Dilihat dari kacamata politik, kebijakan penurunan harga BBM ini memang tidak bisa dilepaskan dalam konteks politik pula. Sinyal yang paling kuat yang melandasinya adalah adanya momentum pemilu 2009,dimana SBY sudah membulatkan tekad untuk maju lagi sebagai presiden. Sebagai calon incumbent, SBY harus pintar dalam memainkan ritme untuk menjaga popularitasnya tetap stabil atau bahkan meningkat. Dalam berbagai survei yang dilakukan beberapa waktu kebelakang menunjukkan tren positif buat incumbent dimana mayoritas lembaga survei mengumumkan bahwa SBY masih menjadi pilihan masyarakat. Popularitas SBY sempat mengalami degradasi akibat kenaikan harga BBM yang membuatnya harus memikat hati rakyat jika ingin menang.
Secara psikologi politik,kesan yang ditanamkan dalam benak masyarakat secara berulang-ulang akan memunculkan memori kolektif. Dalam ilmu psikologi dikenal short term memory dan long time memory. Ingatan manusia memiliki keterbatasan dan untuk membuat ingatan kita bertahan lama harus dilakukan dengan metode repetisi atau pengulangan. SBY dan tim politiknya sangat jeli dalam melihat hal ini. Setidaknya ini tercermin dari proses penyebaran isu dengan menggunakan waktu. Pada saat kenaikan BBM beberapa bulan yang lalu,pemerintah mengumumkan dari jauh-jauh hari perihal rencana kenaikan. Tujuannya adalah untuk melihat sejauh mana reaksi publik dan di sela-sela waktu menjelang tanggal kenaikan, publik disodorkan oleh penciptaan musuh yaitu pasar internasional. Dengan demikian menjelang tanggal kenaikan publik justru mahfum bahwa kenaikan ini bukan niat pemerintah melainkan karena efek pasar.
Sekarang hal ini juga dilakukan dengan pemberian informasi tentang rencana kenaikan yang mengambil jangka waktu cukup lama. Isu penurunan dibiarkan berkembang di masyarakat bagai efek bola salju. Setelah seluruh elemen masyarakat menerima informasi ini dan kemudian menyerapnya. SBY kemudian muncul dengan iklan,pidato dan pemberitahuan ke publik bahwa pemerintah telah berhasil dan mementingkan kepentingan rakyat. Padahal pada saat kenaikan harga BBM, pasar internasional yang dijadikan kambig hitam. Sedangkan pada saat harga internasional turun, pemerintah mengklaim bahwa ini adalah sebuah prestasi besar kabinet. Pemilu kali ini bagi SBY adalah persoalan siapa yang paling populer di mata rakyat. AC Nielsen mencatat biaya iklan SBY bersama Partai Demokrat pada tahun 2008 berkisar Rp. 8,29 – Rp. 15,5 milliar. Dengan dana sebesar itu, jelas bahwa SBY akan berjuang habis-habisan untuk mendongkrak citra.
Sebagai sebuah strategi politik hal tersebut sah-sah saja. Namun, ketika strategi tersebut berdampak pada masyarakat luas, maka kita harus mengkajinya dengan seksama. Dalam demokrasi langsung,dimana rakyat langsung turun tangan menjatuhkan pilihan, popularitas memang menjadi barang yang sangat mahal harganya.Namun politik citra sebaiknya diikuti dengan substansi yang dirasakan publik. Kita tentunya tidak mau punya pemimpin kelas salon yang kerjanya hanya bersolek dan sibuk memoles penampilannya. Indonesia butuh pemimpin yang membangun citra dengan berbuat kepada kepentingan rakyat. Bukannya membangun citra dengan memanfaatkan rakyat.
Namun, dibalik asumsi-asumsi yang berkembang tentang makna politis penurunan harga BBM. Setiap penurunan merupakan sebuah oase di padang tandus yang harus selalu kita syukuri. Bagaimanapun kerja pemerintah tetap memiliki peran dalam upaya menurunkan harga BBM. Sekarang tinggal kita sebagai rakyat yang sebaiknya menganggap pemerintah sebagai patner yang selalu butuh saran dan kritik konstruktif. Perubahan di negeri ini tidak hanya lahir dari tangan yang berkuasa, tetapi didorong dan dikawal oleh bangunan ide-ide melalui partisipasi rakyat yang harus semakin aktif dalam menyerukan suaranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Thanks ..............